Menghadapi Remaja Kita dengan Sosmednya

Menghadapi Remaja Kita dengan Sosmednya

Hari terasa seperti berlari. Begitulah, karena hidup sudah semakin sibuk, sering kita tidak menyadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak kita telah mengubah klasifikasi mereka dari anak-anak menjadi pra atau remaja.

Tubuhnya tambah tinggi, wajah mulai padat, tungkai tangan dan kaki memanjang, tubuh berbentuk. Karena sibuk, perubahan itu tidak begitu dikenali oleh orangtuanya. Namun untuk kami yang sesekali bertemu dengan cucu-cucu, ini adalah kenyataan yang menghentak jiwa ketika hanya jarak empat bulan, bertemu lagi cucu sulung kami tingginya melampaui hampir sejengkal! Bahasa agamanya, anak-anak ini memasuki tahapan akil baligh. Mereka menghadapi atau menjalani masa pubertasnya.

Seiring itu, berbagai hal terjadi termasuk kebiasaan mereka menggunakan gadget dan sosmed. Saya ingin berbagi dengan Anda pengalaman saya beberapa waktu lalu dalam versi yang lain. Duduklah di samping kiri saya seorang ayah separuh baya, sekitar awal 40-an. Saya sudah terlebih dahulu ngobrol panjang dengan anak sulungnya, laki--laki kelas 9 yang dikeluhkan ibunya kecanduan games.

S (saya)    : ” Apa yang bapak keluhkan dengan anak lelaki sulung bapak, pak?”
B (Bapak) : “Tidak ada bu, hanya suka main games…”
S             : “Apakah menurut bapak kesukaannya main games itu tidak serius?”
B             : “Yah biasa saja bu, karena kalau saya ajak sholat ke mesjid masih mau dan masih ngaji kalau saya suruh”.
S             : “Tahukah bapak bahwa anak bapak bermain games on line pakai WiFi tetangga sampai 45 -65 jam per pekan, sedangkan jumlah jam belajar di sekolah hanya 36,5 jam sepekannya?”
B              : “Haah? Tidak bu”
S              : “Menurut ahli tentang kecanduan games, namanya Graham Har Ding pak, kalau main games di atas 20 jam sepekan seseorang sudah kecanduan pak. Jadi menurut bapak, dengan lamanya anak bapak bermain apakah anak bapak sudah kecanduan belum pak?”.
B      : “Yah sudah lah bu !”
S      :  “Apakah bapak tahu anak bapak sudah ikut lomba games online se-Asia Tenggara dengan timnya dari dua negara tetangga?”
B      : “Oh, gitu ya bu.. Nggak bu!”

Gubraaaaak…Dalam hati saya: yang bapak tahu apa...paaak ?

Saya pastikan kalau saya tanyakan lebih lanjut tentang anaknya, saya akan mendapatkan jawabannya yang menunjukkan sama abainya beliau terhadap berbagai bentuk kebiasaan dan dampak buruk dari kecanduan lainnya yang dialami anaknya kini, akibat salah guna dari gadget dan sosmed yang difasilitasinya atas dasar kasih dan cinta. Saya bersandar sejenak, menghela nafas panjang dan terdiam…menyeru Allah…

Ruang praktek saya yang hening bertambah hening. Biarlah... bapak itu juga memerlukan waktu merenungi kondisi anaknya, sementara saya menata rasa. Menari-nari di benak saya  gambaran berapa juta ayah dan ibu di luar sana yang setara sikapnya dengan bapak muda di depan saya ini.

Abai, tidak tahu, anggap enteng, merasa aman, anak saya oke-oke saja, menganggap apa yang dilakukan anak dan remajanya sesuatu yang biasa untuk anak seumurannya, gaptek–jadinya merasa berat dan terbebani sehingga enggak sanggup dan menyerah pada keadaan. Semua itu adalah akar tunggal dan akar majemuk dari berbagai masalah dan bencana yang sekarang sedang kita alami.

Langsung teringat oleh saya kata-kata pengantar teman saya Mark B Kastleman untuk bukunya yang edisi bahasa Indonesia. Bangkit dan sadarlah! Pornografi di internet bukanlah sebuah rekreasi yang tidak berbahaya. Ia adalah tsunami “spiritual dan moral” mengerikan yang akan menyapu seluruh bangsa Anda. Menghancurkan siapapun yang dilewatinya. Jika tidak segera ditangani, ia akan menhancurkan semua orang dan segala sesuatu yang Anda sangat sayangi.

Dan yang paling rentan dan rapuh dalam masyarakat Anda adalah mereka yang berada dalam bahaya terbesar yaitu anak anak dan remaja Anda, satu satunya masa depan bangsa Anda. Huuuh!

Jadi, bagaimana menghadapi anak remaja kita dengan games dan sosmednya ?


1. Marilah kita saling membangunkan diri sendiri, pasangan, saudara kandung dan ipar, orangtua (bagi mereka yang menitipkan anaknya pada kakek neneknya), teman dan tetangga kita dari pingsan, abai, dan anggap enteng terhadap kebiasaan anak dalam menggunakan gadget-nya. Bagaimana dahsyatnya  dampak negatif dari games dan sosmed yang akan kita bahas lebih lanjut di bawah ini.

2. Kita harus menyadari bersama bahwa anak kita bukan milik kita. Jadi, jangan ketika dianugrahi ke kita mereka sempurna, saat kita pulangkan ada yang cedera : otak atau jiwanya.

3. Untuk bisa membicarakan atau mengatur ulang serta membatasi penggunaan gadget dan sosmed dengan anak nampaknya terlebih dahulu kita harus berupaya untuk memperbaiki komunikasi agar mampu menghangatkan kembali  hubungan dan membuat kita dapat menyelami sejauh mana keterlibatan dan ketergantungan anak kita dengan kedua hal tersebut dan bagaimana perasaannya.

4. Mari menoleh kembali ke pengasuhan masa kecilnya, apa saja yang terabaikan dan yang tertinggal selama ini dan apa akibatnya bagi perkembangan kemampuan berpikir, harga, dan kepercayaan diri serta pemahaman dan praktek agama dalam kehidupan sehari-hari yang berakibat pada kemampuan pengontrolan dirinya dari melakukan hal yang tidak patut bagi diri sendiri atau terhadap orang lain di sekitarnya.Yang tidak kalah pentingnya adalah kemandirian dan kemampuan bertanggung jawab pada Allah, diri sendiri, dan keluarga atas niat dan perbuatannya.

5. Bagaimana peran dan keterlibatan ayah selama ini dalam pengasuhan. Semoga tidak seperti contoh bapak di atas. Karena kalau ya, maka jarak terentang itu memerlukan waktu yang panjang untuk merapatkannya kembali. Sementara, peran ayah sangat signifikan dalam pengarahan, pengontrolan, dan perbaikan anak, lepas dari anak kita lelaki atau perempuan. Ayah harus sadar dan terlibat penuh, kalau beliau tidak melakukan kedua hal tersebut, maka maka ibu dan orang di sekitar harus berupaya karena Allah, untuk membantu menyadarkan ayah tentang hal ini. Tak bisa tanpa ayah…

Sebagai illustrasi, banyak sekali kasus terapi adiksi bermacam hal yang telah kami lakukan, sulit berhasil karena ayah tidak terlibat. Yang paling sulit adalah bila ketergantungan atau adiksi yang dialami anak tersebut, penyebab utamanya adalah buruknya  hubungan dengan ayahnya.

6. Perlu sekali teman teman ketahui, dari evaluasi tim psikolog kami yang praktek di klinik selama beberapa tahun terakhir ini, terjadi perubahan drastis dari jenis kasus yang kami hadapi. Kebanyakan dari masalah yang dihadapi bukan lagi seputar ketergantungan atau adiksi  pada internet, games, atau sosmed lagi tapi sudah pada dampaknya berupa : menunjukkan dan mempertontonkan diri/exhibisionist, perilaku gay dan lesbi, seks suka sama suka, dan berbagai kenakalan remaja yang khas era digital yang sangat berbeda dengan kenakalan remaja ketika anda muda dulu. Jauuuh...

7. Dengan membuat inventory terhadap berbagai hal di atas, teman-teman bisa membuat penjadwalan untuk memecahkan dan mengatasi masalah. Apa dulu yang dilakukan dan bagaimana melakukannya.

8. Sementara itu, teman-teman perlu mengecek tentang : games apa yang kini dimainkan anak, berapa jenis games, dan berapa besar konten pornografi di dalamnya. Hal lain adalah mencermati frekuensinya bermain, bukan tidak boleh sama sekali, tapi harus diperhatikan apa yang dinyatakan oleh ahli tentang games, Graham Harding : main games 15 jam sepekan, kecanduan pathologis. Jadi, usahakan di bawah 15 jam sepekan untuk anak-anak di atas 8 tahun hingga pra remaja. Hindari anak tidak bermain di hari sekolah (week days), tapi di week end Anda bebaskan dan melampaui 20-30 jam untuk dua hari. Sama saja bohong.

Jangan kehilangan kata untuk membicarakan dampak negatifnya dengan anak. Walau anak lebih pintar dari kita, tapi Anda orangtuanya. Kalau sekarang saja Anda tak bisa mengendalikan bagaimana 3-5 tahun ke depan? Untuk bisa membahasnya, Anda wajib menambah dan memperkaya diri dulu dengan pengetahuan tentang games.

9. Penting bagi Anda berusaha untuk mengenali bakat anak Anda dalam hal games ini. Seperti anak yang saya singgung di atas, sebenarnya selain ahli dalam main games, ternyata dia juga kreatif dalam desain dan sering dimintai teman-temannya untuk membuat logo grup olahraga atau hanya kelompok bermain. Sayang, hal ini tidak dikenali dan dikembangkan oleh orangtuanya. Kata kuncinya, anak dibantu bukan hanya jadi konsumen atau pengguna, tapi jadi pencipta atu produsen. Terserah apa, sejauh itu positif dan bermanfaat bukan yang berhubungan dengan maksiat.

10. Setelah Anda mengenali semuanya baru Anda mengarahkannya sesuai dengan temuan Anda. Jangan putus harapan terhadap rahmat Allah. Setelah semua usaha, tutuplah dengan doa.

Selamat berjuang – Pastikan Anda menang!

Oleh Elly Risman
Seorang psikolog spesialis pengasuhan anak dan menjabat Direktur Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati. Elly dikenal sebagai tokoh yang gigih dalam menyuarakan perlunya orangtua mengasuh dan mendidik anaknya secara sungguh-sungguh.

Silahkan bagikan:

Artikel terkait:

Add your comment Hide comment

Disqus Comments