Mengasuh Anak tanpa Durhaka pada Orang Tua

Mengasuh Anak tanpa Durhaka pada Orang Tua

Mungkin sahabat NOTES bingung dengan judul di atas, terlebih kata 'durhaka' di belakangnya. Ya, durhaka maksudnya disitu adalah durhaka kepada orang tua. Idealnya memang, pola asuh anak itu yang memanage adalah orang tua. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan kakek dan nenek kadang juga ikut andil dalam pola pengasuhannya. Akibatnya kadang muncul aturan yang tidak sama antara orang tua anak dan kakek-neneknya. Maka menarik apa yang ditulis psikolog khusus anak, Elly Risman berikut, terkhusus tentang mengasuh anak tanpa durhaka kepada orang tua.

Mengasuh Anak tanpa Durhaka


Mengasuh anak pada kakek nenek, buat orangtua kadang terasa berat. Bagaimanapun mereka ingin mengasuh anaknya dengan sebaik yang mereka ketahui dan bisa, tapi pada saat yang sama mereka tidak mau durhaka pada orangtua atau mertua.

Mama  : “Ikraam! Kok makan permen sih, kan giginya masih sakit nak?”                
Anak    : ”Hm... aku lagi pengen, kan udah lama gak makan permen, ma”.
Mama  : ”Astagfirullah nak, Ikram lupa ya bagaimana sakitnya tuh gigi kemaren?”
Anak    : ”Hm.... enggak..!”
Mama   : ”Nah, kenapa sekarang makan permen? Dari mana itu permen?”
Anak    : ”Dari nenek, ma!”
Mama   : ”Astagfirullah!”

Does this sound familiar? Populer sekali di masyarakat kita anggapan atau pemahaman ini. Nenek dan kakek katanya lebih sayang sama cucunya daripada sama anaknya. Maka sering sekali peristiwa seperti di atas terjadi. Mama melarang makan permen, nenek beliin. Ayah larang nonton TV, kakek bilang enggak apa-apa sesekali karena sekolahnya sudah sampai sore, kasihan cucunya.

Selain itu, karena terlalu sayang sama cucu sering kali kakek dan nenek, terutama nenek, ikut campur terlalu banyak dan sering dalam pengasuhan cucunya. Bukan saja mengatur orangtua si cucu, tapi juga kadang intervensi langsung di depan cucunya. Yang parah adalah bila kakek nenek tinggal serumah dengan cucu, atau orangtua menitipkan sang anak sama neneknya. Whuah...hampir semua peraturan ada dua macam. Biasanya aturan dari nenek lebih longgar atau tidak sesuai lagi dengan ilmu dan kesepakatan kedua orangtua. Cucu tentu memilih aturannya yang dibuat nenek dan kakek.

Buat orangtua terasa berat, bagaimanapun mereka ingin mengasuh anaknya dengan sebaik yang mereka ketahui dan bisa, tapi pada saat yang sama mereka tidak mau durhaka pada orangtua atau mertua. Yuk, kita bahas seluk beluk pengasuhan tiga generasi.

Mengapa masalah muncul?

1. Kekeliruan kakek nenek sendiri karena dulu ketika mengasuh anaknya tidak menggenapkannya dengan pengetahuan tentang tanggung jawab menjadi suami istri dan menjadi orangtua. Anak hanya dipersiapkan untuk menjadi sarjana sesuai minat dan bakatnya, ilmuwan, enterpreuneur, dan pekerja. Sudah dianggap wajar kalau kini kakek nenek menanggungkan resiko mengasuh cucu sebagai tanggung jawab dan cinta. Kasihan kalau cucu hanya diasuh oleh pembantu, apalagi kalau pembantu itu berganti-ganti terus.

2. Nenek dan kakek merasa sukses mengasuh anaknya dulu dan cenderung mengulanginya dalam mengasuh cucu. Padahal, mereka tidak tidak tahu bagaimana sesungguhnya perasaan dan penilaian anak-anaknya terhadap pola pengasuhan yang mereka terima dulu itu dan kini belum tentu seluruhnya dapat diterima oleh anak dan menantu mereka bila diterapkan pada anak-anaknya. Pengasuhan pada prinsipnya sama, tapi zaman sudah berbeda. Orangtua kini (anak-anak mereka) sudah lebih melek tentang parenting.

3. Tidak ada pembicaraan terlebih dahulu antara kakek nenek dan orangtua tentang GBPA (Garis-garis Besar Pengasuhan Anak) dan kemudian menyepakatinya. Tujuan apa yang mau dicapai, bagaimana mencapainya, apa prioritasnya, dan harapan orangtua tentang do’s and dont’s-nya.

4. “Dendam positif”. Dulu waktu kakek nenek membesarkan orangtua, hidup banyak susahnya. Keperluan banyak, keuangan terbatas. Kini di usia tua, keperluan menurun keuangan lebih mapan dan ada pula pemberian anak-anak. Maka kalau cucu meminta sesuatu, dulu sama emak atau bapaknya keinginan mereka ditahan, ditunda atau tidak dipenuhi, sekarang tidak ada alasan. Lagian orangtuanya “medit atau kenceng” banget. Kasihan tuh cucu! Jadi, nenek dan kakek lebih permisif atau membolehkan, bahkan agak sedikit berlebihan.

5. Kalau timbul masalah karena ketidaksesuaian harapan dan apa yang dilakukan kakek nenek, orangtua jadi “nggak-enak an” sama kakek nenek. Ngegerundel sendiri–masalah tidak terpecahkan apa lagi terselesaikan. Kejadian berulang, yang korban masa depan anak dan kesehatan jiwa orangtua.

6. Kalau mau di “omongin” atau dibahas, enggak tahu bagaimana cara yang tepat dan benar. Ujung-ujungnya pasti ketegangan kalau enggak mau dibilang konflik kecil pasti terjadi. Kakek nenek tersinggung atau sedih. Orangtua merasa, ”Duh gue durhaka nggak nih ya...”

7. Orangtua tidak tahu, bagaimana masa kecil kakek nenek. Jangan jangan orangtuanya mereka dulu keras dan suka mengkritik atau cenderung memanjakan. Jadi, kalau kakek nenek melakukan hal serupa adalah karena masa kecilnya dulu seperti itu (inner child-nya).

Jadi bagamana dong?

Dari sudut kakek nenek:


1. Kita sudah tua, dulu habis waktu kita untuk mengasuh, mendidik, dan menyekolahkan anak anak. Kenapa kita sekarang harus pula melakukan hal serupa terhadap anak-anak mereka? Betul sebagai kakek nenek kita perlu bertanggung jawab pada Allah terhadap keturunan kita, tetapi kita harus sadar sesadar sadarnya bahwa kita bukan penanggung jawab utamanya. Yang diberikan benih dan yang mengandungnya lah yang telah dipilih jadi baby sitter-nya yang memberikan amanah. Bukan kita!

2. Jadi, dengan segala kerendahan hati, akuilah kekurangan dan kesalahan kita dalam mengasuh anak anak kita dahulu. Mungkin kita kurang menyiapkan mereka untuk menjadi suami-istri, ayah dan ibu. Wiring atau pengkabelan di otaknya adalah untuk berprestasi secara akademis dan kita minta mereka mati-matian mempertahakan rangkingnya. Kini, mereka berusaha sukses dan mempertahankan kesuksesannya di dunia kerja. Dunia kerja lebih baik dan utama daripada menjadi orangtua sehingga dengan mudah dan tanpa merasa bersalah mereka mensub-kontrakkan anak-anaknya.

Jangan jangan kita telah menjadi role model yang yang keliru yang mereka tiru. Maka, minta maaflah dengan jujur pada anak anak kita karena ketidaksengajaan atau kealpaan kita dalam membesarkannya telah menjadikan mereka orangtua yang  kurang memiliki rasa tanggung jawab, keterampilan, dan daya tahan atau endurance dalam menjalani peran keorangtuaannya.

3. Anak-anak kita harus bertanggung jawab pada si pemberi amanah, bukan kita! Bantu meluruskan pemahaman mereka dengan penuh kesabaran dan cinta serta pengorbanan. Setelah itu, pulangkan saja cucu-cucu pada ibunya atau ayahnya. Tangan berbuat, bahu memikul.

4. Kita harus sadar benar, ketika kita muda kita sarat dengan berbagai upaya untuk bertahan sebagai orangtua dengan berbagai masalah yang kita hadapi sehingga mungkin ibadah dan amalan kita seadanya saja. Kita bersyukur dengan semua rahmat Allah yang diberikan kepada kita sehingga kita merasakan kenikmatan punya dan memelihara cucu, yang tidak semua orang mendapatkannya.

Tapi kini pulalah, di sisa usia ini saatnya bagi kakek nenek untuk beribadah dan melengkapi bekal akhirat, menikmati mekar di usia kedua, bukan dibebani cucu. “For the seek of your mental health, Grands...you need space for yourself; phisically, mentally, emotionally, socially, and spiritually. Enjoy your life!"

5. Kalaulah ada hal yang kita rasa kurang pas dan kurang berkenan yang dilakukan anak-anak kita dalam mengasuh cucu cucu kita, maka lakukan beberapa kiat. Pertama, bijaklah dalam menyikapinya. Kedua, duduklah bersama. Tanyakan mengapa mereka melakukannya. Semua tingkah laku punya alasan dan punya tujuan. Mungkin mereka telah belajar atau mempunyai ilmu baru dalam mengasuh anak sehingga mereka tengah mencoba menerapkan cara-cara yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman.

Ketiga, bila kita ada usulan sebaik mungkin bicara dulu dengan ayahnya (anak kita kah atau menantu), baru bicara dengan ibunya. Ayah harus kita bantu untuk berfungsi sesuai dengan perannya. Keempat, pahami benar bahwa cucu kita hidup di era digital dengan segala konseuensi dahsyatnya. Jangankan kita, orangtuanya saja tidak akan sanggup mengejar kecepatan anak-anak mereka dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi ini. Maka, mundurlah dengan teratur, serahkan pada ibu bapaknya karena kita hidup pada dunia yang sudah sangat berbeda dengan mereka.

Kelima, banyak sabar dan sering gigit lidah. Tahan kata-kata. Keenam, tugas utama kita adalah untuk menjaga dan memelihara bahwa semua berjalan sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasul serta semua ketentuan yang ada dalam kitab suci kita. Maka jangan segan dan berhenti menasehati, bukankah sesungguhnya :”Addinu Nasihah” – Agama itu Nasihat!

Dari sudut ayah ibu...


1. Yang harus anda berdua ingat adalah: Anda lah baby sitter-nya Allah. Berarti Anda lah penanggung jawab utama pengasuhan dan pendidikan serta keberlangsungan hidup anak anak Anda, bukan kakek neneknya apalagi baby sitter dan pembantu atau pimpinan dan guru TPA (Taman Pendidikan Anak) . Anda berdua wahai orangtua, dikaruniai dan diamanahi oleh Allah anak yang sempurna; Jangan sampai ketika di”pulangkan” pada Allah dalam keadaan “bonyok”: fisik, jiwa, dan keimanannya. Harus Anda ingat: Nanti jawab apa ya di Mahkamah Hisab Allah? Jadi, Anda aturlah waktu dan tenaga menjadi orangtua.

2. Yang dibutuhkan anak itu darimu ayah dan ibu adalah waktu, bukan mainan dan hadiah tidak juga sekolah keren, reputasinya hebat dengan uang pangkal dan bayaran bulanan yang mahal. Masa depan itu bukan hanya tergantung pada keberhasilan akademis semata yang bersusah payah anda gapai. Bisakah dia sukses dengan iman yang rendah dan jiwa hampa menghadapi tantangan zaman dan persaingan yang semakin ketat luar biasa? Ingatkah Anda kisah Rasulullah yang me-lama-kan sujudnya agar cucu-cucunya puas bermain di tengkuk dan belakangnya? Dalam sujudnya saja, Rasulullah berusaha memenuhi kebutuhan jiwa cucunya pada saat mereka butuhkan dalam jumlah yang cukup. Bagaimana dengan Anda?

3. Pendidikan itu berlangsung dirumah–penanggung jawab utamanya Anda : orangtua. Pembelajaran di sekolah penangung jawabnya guru – jangan diputar balik. Sebaiknya kita ikut melakukan kesalahan berjamaah?

4. Rezeki bukan hanya uang . Anak yang sehat lahir batin, sholeh dan beradab, bahagia dan gembira, cerdas secara intelektual, emosional dan sosial adalah garansi hidup dunia akhirat.

5. Jangan salah tangkap, bukan tidak boleh bekerja. Indonesian Neuroscience Society pernah menyarankan pada pemerintah agar keluarga yang punya anak balita salah satu orangtuanya harus tinggal di rumah sampai anaknya berusia 8 tahun. Bisa ayah, bisa Ibu!

Seorang ahli tentang krisis usia separuh baya (maaf lagi lupa namanya) dari risetnya menyarankan : Agar ibu sebaiknya mulai bekerja penuh kalau anak bungsunya berusia 8 tahun. Harapan hidup perempuan Indonesia 75-80 tahun. Masih banyak sisa usia untuk anda aktualisasi diri. Iya! memang enggak bisa kalau Anda bermaksud menjadi pegawai negeri.

Lagi pula buat orang muda yang cerdas, multitalenta seperti Anda, bekerja dan memperoleh rezeki kan tidak harus bermakna meninggalkan anak Anda selama jam 8-5 sore setiap hari, yang kenyataannya Anda akan meninggalkan rumah 14 jam lebih karena jarak dan transportasi. Kan anda bisa S-O-H-O : membuat Small Office Home Office? Hak Anda untuk tidak setuju dan kesal dengan saran ini. Hidup ini adalah pilihan, hak Anda untuk memilih. Tapi bijaknya juga harus siap menanggungkan segala konsekuensinya.

6. Apapun pilihan yang ayah ibu akan buat, jangan lupa Anda kini sedang membesarkan anak generasi platinum di era digital. Sebagai “orang muda” Anda tahu semua konsekuensi yang terjadi pada anak-anak kita sekarang ini. Ya, kecanduan internet, games, pornografi, dan sebagainya yang berakibat kerusakan pada otak dan akhlak.

Bagaimana mengsub-kontrakkan anak kita pada orang lain, kita saja yang mengasuhnya bisa kewalahan. Menghadapi pra remaja kita yang sekarang ini bisa jadi YouTuber dan ‘memonetized’ akun sosmed mereka? Bagamana anak kita bisa bertahan dan tidak terpengaruh?

7. Kakek nenek itu nak, bak matahari!. Diperlukan oleh cucunya secukupnya saja : 30 menit sampai 3 jam sehari. Kalau berjemur kelamaan kena kanker kulit! Itu saja Anda harus pakaikan dia pelindung matahari yang SPF-nya  tergantung usia. Semakin muda usia, SPF-nya makin tinggi.

8. Kalau Anda dalam situasi tertentu: Suami tidak bekerja dan lain-lain, maka ayah dari anak-anak harus bertanggung jawab untuk membicarakan dan membahas GPBA dengan kakek nenek sebelum anak-anakmu kau titipkan. Kalau single parent, dimana anak-anak sudah tak berayah berpisah atau pergi selamanya, ibulah yang harus melakukannya. Jadi semuanya jelas : aturan dan konsekuensinya. Nanti semua ini dievaluasi secara bijak dan penuh kasih sayang.

9. Pada prinsipnya  usahalah untuk tidak membenani kami : kakek neneknya. Walaupun permintaan mereka karena mereka menghadapi sindrom empty nest. Percayalah nanti memisahkannya susah sekali. Lagi pula prinsip pengasuhan sama, zaman telah berbeda – bila tak berkesesuaian Anda marah dan kecewa?

10. Kakek dan nenek tidak didisain oleh Allah untuk mengasuh cucu, karena mereka :
  • Mengalami perubahan fisik : semua fungsi organ tubuh menyusut karena usia, termasuk osteoporosis dan berbagai gangguan kesehatan.
  • Dalam proses menjadi tua, hormon testosteron pada kakek dan estrogen dan progesteron pada nenek menurun drastis.
  • Perubahan hormonal tersebut menyebabkan perubahan emosi. Bila tersinggung sedikit sedihnya mendalam dan lama. Bila kesungging sedikit bisa marah besar..
  • Masalah dalam kehidupannya membuat persepsi mereka tentang hidup jadi berubah. Kalau Anda mengajaknya untuk pesiar lalu Anda mau nitip karena ada konggres, dia enggak butuh pesiar itu. Dia mendingan di rumahnya bisa ke mesjid, sholat berjamaah, pengajian atau ngobrol sesama teman-teman seusianya.

Nah, bagaimana kalau Anda ingin mengoreksi kakek nenek atau ingin menyampaikan pesan padanya tanpa takut dicap kualat atau durhaka, ini kiatnya :
  • Rendahkan dirimu dan suaramu
  • Rumuskan pendapatmu dan ajukan dalam kalimat bertanya
  • Tanyakan pendapat beliau
  • Kalau beliau bertanya baru jelaskan maksudmu
  • Tanya lagi menurut kakek nenek bagaimana sebaiknya
  • Hindari menggurui orangtuamu, betapapun pintar dan tingginya pendidikanmu.

Kalimat bertanya yang diajukan tidak mesti mendapatkan jawaban segera karena pertanyaan membuat seseorang sadar diri. Jadi, lihat baik-baik ke dalam hidup Anda: apa prioritas hidup Anda sebenarnya?
Jelas? Mengapa bangsa kita sekarang seperti ini, karena pengasuhan kita anggap tidak penting, kita hibah-hibahkan/sub kontrakan pelaksana pengasuhan anak kita. Mereka tumbuh besar, kuat dan pintar tapi hampa jiwanya.. Bagaimana generasi bangsa ini  mau kuat?

Oleh Elly Risman
Seorang psikolog spesialis pengasuhan anak dan menjabat Direktur Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati. Elly dikenal sebagai tokoh yang gigih dalam menyuarakan perlunya orangtua mengasuh dan mendidik anaknya secara sungguh-sungguh.

Silahkan bagikan:

Artikel terkait:

Add your comment Hide comment

Disqus Comments