Antara Ketua RT dan Presiden

Antara Ketua RT dan Presiden

“Begitu tanya di mana rumah Ketua RT, urusan jadi mudah, Mas”, kata teman-teman yang silaturahim ke rumah. Batin saya sontak jawab: “lha iya lah. Ada ga sih Ketua RT yang tak dikenal warga?” Tapi ada lho, pejabat yang tak dikenal. Wes ewes ewes... Tiba-tiba jadi pejabat. Dia sendiri bingung, malah bertanya-tanya.

Setahun sudah saya jabat RT. Ini yang buat geleng teman-teman. “Sampeyan sibuk. Koq mau jadi Ketua RT. Gimana bagi waktu. Apa sih yang dicari, Mas?”

Pertanyaan yang tak pernah berubah, meski diucap orang yang berbeda. Maknanya, ada kesamaan pola yang keliru di ke-RT-an negeri ini. Kita simak sebagian kekeliruan yang telah berjalan berpuluh-puluh tahun.

Pertama, entah hingga kapan, RT cuma jalankan fungsi administratif. Untuk urusan begini, saya sudah tanda tangani jauh-jauh hari. Jadi saat saya tak di tempat, hajat warga tetap terjaga.

Kedua, agar administratif lancar, memang ada syarat. Bukan seperti yang kini banyak terjadi. Terselip seperak dua perak. Pengurus RT musti sudah selesai dengan dirinya. Terbayang jika pengelola negeri sudah selesai dengan diri sendiri kan.

Ketiga, fungsi administratif cuma rutin. Ini “kerja tanpa visi”. Kita asyik terbuai hidup di negeri yang lempar kayu jadi tanaman. Tak terbayang kelola RT juga harus ber-visi. Tak percaya, yuuuk bandingkan.

Peran Ketua RT dan Presiden sama. RT urus warga, Presiden urus bangsa. RT punya pengurus, Presiden punya kabinet. Saya jadi Ketua RT musti independen. Presiden kita, independen kah? Dengan doa kita berharap: "Semoga. Aamiin YRA".

Saya sadar ajukan syarat ketika diminta jadi Ketua RT. Maka Sekretaris RT saya minta Dhana Darsono. Dia putera Jenderal HR Dharsono, Ketua Petisi 50. Kereeen kan. DNA-nya sudah “orang bener tuh”.

Saya mau Bendahara RT adalah Anto Darmadji. Dia akuntan independen. Pensiun dini meski kesayangan salah seorang menteri. Dan saya mau jadi ketua RT, jika Ketua PKK adalah Emmy Hafild. Siapa ini? Dia termasuk yang melejitkan Walhi.

Dengan komposisi begitu, barangkali, ini “Kabinet RT paling mengerikan” di Indonesia. Maka tak sampai dua bulan, Lurah Bintaro sepakati usulan. “Pelatihan Karakter RT Bintaro”. Belum dua bulan saya jabat Ketua RT, mendadak ajari orang yang sudah jadi Ketua RT 30 tahun. Entah ini “ajari burung terbang” atau malah “merusak jam terbang”.

Warga saya ada yang struktural di partai berbeda. Saya musti ngeh. Saya tak berpolitik, tapi saya harus mafhum politik. Tentu agar tak terjadi politisasi di RT. Maka sebagai warga RT, mereka musti patuh pada aturan RT. Sekalipun Jokowi jadi warga saya, Pak Presiden harus patuh pada aturan RT. Ketika Jokowi bicara sebagai Kepala Negara, baru saya siaaap graaak.

Jokowi punya Nawacita. RT saya juga punya Tri Bagi. Apa itu? Ketika sambutan pengukuhan RT, saya tegaskan: “Tugas saya tak layani warga. Tugas saya bangkitkan tanggung jawab warga hidupkan Tri Bagi: Berbagi Nyaman, Berbagi Aman, dan Berbagi Kehidupan”.

Tri Bagi bukan tugas Pengurus RT semata. Itu kerjaan semua warga. Syaratnya? Sebagai Ketua RT saya musti selesai dengan diri sendiri. Ketika belum selesai, jangan-jangan saya ditekuk warga kaya. Dengan kondisi begini, bisakah saya netral?

Di warga saya tak lihat siapa, tapi apa yang dikatakan. Saya dukung yang mengarah pada kebenaran yang mutlak milik Allah SWT. Dengan mencari kebenaran, insya Allah keadilan tegak.

Saat Walikota Solo, Jokowi dulu gusur kaki lima dengan serangkaian pertemuan. Katanya lebih dari sekian puluh kali. Ahok pun gusur dengan kerahkan keamanan. Pengurus RT saya juga pindahkan kaki lima. Tapi tanpa kerahkan keamanan, tanpa caci maki, dan tak keluar uang serupiahpun.

Cita-cita saya yang gagal adalah ingin pasang plang di depan rumah Pengurus RT. Bunyinya: “Anda miskin, hubungi Pengurus RT”. Memang gagal. Mengapa? Warga RT saya berkecukupan. Bagi saya warga kaya adalah perbendaharaan. Untuk bantu atasi kemiskinan di RT sebelah.

Kiat Pengurus RT saya sederhana. Coba “beternak kebajikan”. Insya Allah satu kebajikan lahirkan berbagai kebajikan lain. Kita musti sisihkan “keterlanjuran sindiran” di negeri ini. Ayo hapus istilah “beternak aparat” dan “beternak pejabat”.

Saya membayangkan. Yang beternak, di belakang tertawai pembesar kita. Saya tersinggung. Darah saya berdesir. Mereka telah hina orang-orang terbaik negeri ini. Kita punya tanggung jawab sama. Tegakkan marwah dan harga diri bangsa. Ini tanah tumpah darah kita. Bismillahirrahim.

Oleh: Erie Sudewo, pendiri Dhuafa dalam republika.co.id

Silahkan bagikan:

Artikel terkait:

Add your comment Hide comment

Disqus Comments