Mengenal Sosok Najmuddin Ayyub

Mengenal Sosok Najmuddin Ayyub

Ia seorang dizdar ( pemimpin kastil) di Tikrit, menggantikan ayahnya Shadzi ibnu Marwan yang wafat. Shadzi ibnu Marwan memiliki dua putra : Najmuddin Ayyub dan Assaduddin Shirkuh. Perjalanan Shadzi dan dua putranya hingga tiba di Tikrit, Iraq, demikian berliku. Berhubung Shadzi adalah seorang pejabat dan politikus; ia memiliki hubungan rumit dengan banyak orang, banyak kepentingan. Shadzi memiliki hutang budi salah satunya kepada sahabatnya sendiri, Jamal ad Daula Mujahiduddin Bihruz. Bihruz banyak membantu Shadzi bukan hanya urusan material namun juga non material. Bihruz bukan hanya berjasa pada Shadzi, namun juga pada dua putranya, Ayyub dan Shirkuh.

Najmuddin Ayyub-lah yang dapat tampil menjadi seorang negarawan yang cakap, bijak, berani mengambil keputusan.

Terjadi beberapa peristiwa penting yang membuat Najmuddin Ayyub harus mengambil keputusan sulit.

Pertama, ia seharusnya mengabdi utuh pada khalifah Abbasiyyah saat itu, Mustarshid Billah. Konflik tajam saat itu memunculkan peperangan antara Khalifah melawan Ghiyatsuddin Masud dan Imaduddin Zanki. Dalam pertempuran, pasukan Imaduddin Zanki terdesak hebat. Najmuddin Ayyub dapat saja menebas leher Zanki dan membawanya ke hadapan khalifah, dengan demikian kedudukannya akan semakin cemerlang, berwibawa dan melesat.

Namun Ayyub justru memilih melindungi Zanki yang tertatih-tatih, melarikan diri lewat sungai Tigris menuju Mosul. Tindakan Najmuddin Ayyub menuai kecaman keras dari para petinggi dan pejabat kekhalifahan. Mujahidduddin Bihruz sangat murka dengan pembangkangan Najmuddin Ayyub. “Kamu mendapatkan musuh dalam gengggamanmu; mengapa kamu perlakukan dia dengan baik dan melepaskannya?!”

Kedua,  bekas bendahara pemerintahan Saljuq, Azizuddin al Mastaufi, ditahan di Tikrit karena satu tuduhan. Al Mastaufi harus menjalani hukuman mati dan harus dibawa ke Baghdad. Najmuddin Ayyub menolak perintah tersebut sebab ia yakin, al Mastaufi sesungguhnya tak bersalah. Mujahiduddin Bihruz yang akhirnya menjemput al Mastaufi di Tikrit dan menghukum mati dirinya di Baghdad.

Ketiga, suatu ketika seorang perempuan melewati  benteng Tikrit sembari menangis. Ayyub dan Shirkuh melihatnya dan menanyakan sebab ia bersedih. Perempuan itu menjawab ia telah dilecehkan oleh isfahsalar (pimpinan tentara) beragama Nashrani. Shirkuh marah sekali hingga ia mengambil tombak dan menusuk sang isfahsalar. Atas perbuatannya, Najmuddin Ayyub terpaksa memenjarakan Shirkuh. Sesungguhnya, Ayyub sangat mencintai Shirkuh. Adik lelaki satu-satunya itu telah menemani hidupnya sejak mereka hijrah dari Dvin menuju Tikrit. Keduanya bahu membahu untuk masalah keluarga hingga pertempuran. Agar keadilan tidak timpang sebelah, Ayyub melaporkan kejadian tersebut kepada Mujahiduddin Bihruz.

Dapat diduga, Bihruz murka besar. Meski desas desus beredar, Shirkuh membunuh isfahsalar bukan hanya karena ia melecehkan si perempuan muslimah namun juga ia melecehkan agama Islam. Bihruz, yang telah menolong keluarag Shadzi sejak bertama kali mereka hijrah dari Dvin menuju Tikrit, merasa Najmuddin Ayyub tak tahu membalas terima kasih. Berkali-kali Ayyub membangkang perintah khalifah dan menyulitkan posisi Bihruz. Kali ini, Bihruz mengambil keputusan tak main-main : Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Shirkuh beriktu seluruh keluarga mereka, malam itu juga harus meninggalkan Tikrit. Bila tidak, mereka tak akan bernyawa lagi.

Malam kelam saat itu, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Shirkuh beserta keluarga mereka mengendap keluar dari benteng Tikrit. Pedih hati Ayyub. Bukan karena ia berkecil hati atas kerugian, kesusahan, kesulitan yang menghimpit keluarganya lantaran ia bersikukuh memilih kebenaran atas kebathilan. Tapi karena malam itu, istri Najmuddin Ayyub baru saja  melahirkan. Tubuhnya masih lemah, bayi lelaki di pelukannya merah dan mungil

Di bawah langit kota Tikrit yang dipenuhi gemintang.

Dihadang benteng-benteng sunyi yang menyaksikan sejarah jatuh bangun berulang. Disisi hati yang menangis antara ketakutan, kekhwatiran, namun juga keinginan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Di gang-gang sunyi gelap yang diintai oleh orang-orang khianat dan kemungkinan tertangkap. Najmuddin Ayyub menangisi takdirnya, menangisi bayi lelaki dalam dekapannya yang sekecil itu berada dalam pelarian. Seorang lelaki, pengikutnya, menghiburnya.

Ucapan lelaki itu ternyata dicatat oleh para sejarawan.

Jamal ad Daula Mujahiduddin Bihruz yang berkuasa, pintar mencari posisi, kesayangan khailfah dan pejabat-pejabatnya; anak cucunya tak dikenal sebagaimana anak cucu sahabat yang ditolongnya, Shadzi ibnu  Marwan. Shadzi ibnu Marwan mewariskan keberanian, kejujuran, dan ketundukan pada Allah Swt kepada dua anaknya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Shirkuh. Kelak, bayi lelaki merah yang baru saja dilahirkan, yang dilarikan diantara bintang gemintang Tikrit. Di antara bayang-bayang benteng yang tak mampu menahan langkah kaki pelarian menuju Mosul. Bayi lelaki itu mengharumkan nama kakeknya, Shadzi ibnu Marwan dan ayahnya, Najmuddin Ayyub.

Bayi pelarian Tikrit itu bernama, Shalahuddin al Ayyubi.

Bisakah pemimpin dan militer kita seperti Najmuddin Ayyub ibnu Shadzi, ketika hatinya menyerukan kebenaran maka ia berani menyuarakan pendapat dan bertindak berdasarkan hati nurani?

BACA: Pengakuan Barat terhadap Sikap Mulia Shalahuddin Al-Ayyubi - Shalahuddin Al-Ayyubi dan Madrasahnya

Oleh: Sinta Yudisia dalam ngelmu.com

Silahkan bagikan:

Artikel terkait:

Add your comment Hide comment

Disqus Comments