Islam dan Kepemimpinan Non Muslim

Islam dan Kepemimpinan Non Muslim

BELUM lama ini, isu tentang pemimpin non Muslim dan pemimipin yang adil diperbincangkan di beberapa media Islam. Seorang tokoh berpendapat bahwa lebih baik memilih pemimpin non Muslim yang adil.

Pendapat tersebut tidak tepat. Simak penjelasan para ahli tentang ke-adil-an seseorang. Al-Jurjani dalam al-Ta’rifat,menulis bahwa “adil” bermakna menjauhi diri dari dosa-dosa besar; tidak selalu melakukan dosa-dosa kecil; perbuatan yang kebanyakannya benar; meninggalkan perbuatan-perbuatan murahan, seperti kencing dan makan di jalan. Para sahabat Nabi disebut adil, karena patuhnya mereka secara tulus terhadap ajaran Nabi.

Karena itu, syarat yang paling mendasar seorang pemimpin disebut adil adalah dilihat dari keimannya dan komitmennya menjalankan perintah agama. Jika tidak beriman, tidak mungkin adil. Sebab, kekufuran itu kedzaliman, atau ketidakadilan.

Jadi, adil itu tidak sekedar membagi sama rata, dan sama rasa. Tetapi adil itu menempatkan sesuatu pada posisinya. Tidak selalu yang sama itu adil. Dan tidak selalu yang sama rata itu adil. Buktinya, gaji karyawan di kantor itu tidak sama. Ini bukan dzalim tetapi mereka digaji sesuai dengan jabatana dan pekerjaannya.

Sementara, memilih pemimpin non Muslim itu dilarang, karena tidak adil itu.Dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan non Muslim untuk menangani urusan kaum Muslimin adalah haram. Seperti keharaman meminta tolong non Muslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-mal dan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz (semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum Muslimin secara umum.

Meskipun ada pendapat ulama (Syeikh Ali Syibramalisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada non Muslim―baik karena tidak adanya Muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya―, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non Muslim. Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya—baik dalam ucapan maupun perbuatan—terhadap rakyat yang Muslim sangat besar dan tidak terhindarkan. Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum Muslimin. Asumsi memilih pemimpin non Muslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum Muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum Muslimin. (Bahsul Masail PCNU Surabaya).

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَہُودَ وَٱلنَّصَـٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَ‌ۘ بَعۡضُہُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍ۬‌ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُ ۥ مِنۡہُمۡ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِينَ (٥١)

“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai penolong/penguasa. Sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Orang dari kalian yang menolong mereka/menjadikan mereka penguasa, maka ia termasuk bagian darinya. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. al-Maidah: 51).

Ayat tersebut oleh para ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum Muslimin kepada non Muslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah.

Dalam Islam, kepemimpinan  merupakan salah satu elemen penting. Wajib hukumnya mengangkat satu orang ‘amir (pemimpin) yang adil dalam suatu komunitas masyarakat, agar komunitas sosial tersebut mampu menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab penegakan keadilan tidak mungkin dicapai kecuali dengan kekuasaan/otoritas seorang pemimpin yang taat pada ajaran agamanya.

Seorang pemimpin dalam perspektif Islam memegang posisi yang sangat menentukan masa depan rakyat yang dipimpin. Maka, dalam fiqh al-siyasahseorang pemimpin disebut khalifah al-nubuwwah – pengganti Nabi baik dalam urusan dunia, agama atau Negara. Maka sistem yang dipegang seorang pemimpin juga harus kuat. Perpaduan yang ideal antara sistem dan pemimpin akan membawa rakyat pada kehidupan makmur dan berkualitas.

Figur pemimin ideal menurut perspektif Islam adalah; calon pemimpin haruslah seorang Muslim yang konsisten menjalankan perintah agama (istiqamah) dan tidak tiranik berbuat dzalim.

Kepemimpinan dalam pandangan Islam tidak memisahkan secara dikotomis Negara-dan agama, umara dan ulama. Agama dan ulama memberi warna Negara karena pemimpin merupakan sebuah amanat yang diberikan kepada orang yang benar-benar ahli, berkualitas dan memiliki tanggungjawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik, menerima kritik membangun dan ditambah berkolaborasi dengan ulama. Pemimpin yang adil itu syarat utamanya harus beriman dan taat menjalankan ajaran agama. Di luar itu, tidak bisa disebut pemimpin yang ‘adalah (adil). Tanggung jawab tidak hanya kepada rakyat tetapi juga kepada Allah di akhirat.

Oleh: Ahmad Khalili Hasib dalam hidayatullah.com

Silahkan bagikan:

Artikel terkait:

Add your comment Hide comment

Disqus Comments