Blunder Berbahaya Iklan Kampanye Ahok

Blunder Berbahaya Iklan Kampanye Ahok

Dua hari terakhir netizen digegerkan iklan kampanye pasangan calon Gubernur DKI Jakarta Ahok-Djarot. Iklan yang katanya mengusung kebinekaan, kebersamaan, dan kerukunan antar warga tersebut justru mempromosikan hal yang sebaliknya. Alih-alih mendorong persatuan, iklan itu dinilai mendiskreditkan umat Islam dan melanggar rambu sangat sangat berbahaya dan sangat eksplosif “GANYANG CINA”.

Tak kurang dai kondang yang selalu bersuara sejuk, Aa Gym, menyampaikan protes keras karena membuat stereotip orang Islam adalah perusuh. Khatib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Asrorun Ni’am Sholeh, menilai iklan itu merendahkan dan bisa menimbulkan masalah. Pemuda Muhammadiyah juga menyampaikan protes kerasnya.

Dalam iklan berdurasi dua menit itu, spanduk bertuliskan “Ganyang Cina” tampil dalam visual iklan pada detik  ke 8-10 dengan latar depan para perusuh. Beberapa perusuh di antaranya menggunakan peci, baju koko dan bersorban. Mereka sedang mengepung sebuah mobil yang didalamnya terdapat seorang ibu dan anaknya menangis histeris. Visualnya sungguh mencekam dan menakutkan.

Bagi siapapun yang menonton visual itu bisa dengan mudah menangkap pesan yang ingin disampaikan, bahwa umat Islam adalah perusuh anti-Cina. Sementara visual iklan selanjutnya entah disengaja atau tidak, menggambarkan bahwa etnis Cina sangat nasionalis–menggunakan kaos olahraga merah dengan tulisan Indonesia di belakangnya–dan di bagian akhirnya menjadi pahlawan lewat juara bulu tangkis. Jadi, terkesan dibuat dikotomi yang satu perusuh dan yang lainnya adalah pahlawan.

Jika Pak Ahok  ingin menunjukkan keistimewaan Tionghoa silakan saja. Tapi dengan memfitnah umat Islam adalah perbuatan kotor, hina, dan sangat keji. - Aa Gym

Perhatikan, seorang ulama Aa Gym bahkan tidak menggunakan kata Cina, tapi Tionghoa. Belakangan sebutan Cina mulai banyak dihindari dan ditinggalkan, diganti dengan Tionghoa. Penyebutan Cina dinilai rasialis dan merendahkan. Sebuah stasiun TV malah menggantinya dengan penyebutan Cai-na (China) dalam dialek Inggris. Entah apa pula bedanya? Kata Cina ini sekarang seolah menjadi tabu dan tidak pantas diucapkan dalam pergaulan resmi. Nah, iklan tersebut malah menyebut dua kosa kata yang  super tabu, “Ganyang Cina”.  Sebuah provokasi yang brutal dan berbahaya.

Agak sulit memang untuk bisa menjelaskan mengapa blunder berbahaya semacam itu dilakukan oleh Ahok dan para pendukungnya. Sejak awal yang bisa kita saksikan,  Ahok dan para pendukungnya ingin membuat sebuah stigma bagi pendukung Anies-Sandi–seolah ingin memonopoli nilai kebinekaan dan NKRI bagi pihaknya. Mereka memberi label umat Islam yang melakukan Aksi Bela Islam (ABI) sebagai kelompok radikal, intoleran, anti kebhinekaan dan anti NKRI. Beberapa tokoh malah ditangkap dan disebut makar ketika menuntut Ahok untuk diadili.


Jutaan umat Islam yang berkumpul dalam berbagai momen Aksi Bela Islam (ABI) menunjukkan bahwa umat mampu menahan diri dan cinta damai. Bukan perusuh yang seperti mereka gambarkan. Jangankan menyakiti umat yang beragama lain atau etnis Cina, bahkan rumput pun mereka sangat jaga. Jangan sampai terinjak ketika aksi berlangsung.

Sepasang pengantin nonmuslim bahkan dikawal pasukan Front Pembela Islam (FPI) ketika akan menikah di Gereja Katedral Jakarta. Pengantin ini terjebak kerumunan massa aksi 212 yang memadati kawasan sekitar Monas hingga masjid Istiqlal. Foto mereka menjadi viral di dunia maya karena dinilai sebagai simbol kerukunan antar umat beragama yang menyejukkan.

Indikasi bahwa pasangan Ahok-Djarot akan kalah dalam pilkada putaran dua, menciptakan kepanikan dan membuat mereka menempuh segala cara. Taktiknya menjadi kebablasan dan lupa diri. Iklan itu tidak hanya membuat umat Islam marah, tapi malah bisa menjadi bumerang. Seperti bom yang justru meledakkan tuannya sendiri. Mereka  membuat etnis Cina yang harusnya mereka rangkul–malah menjadi takut. Taktik ini justru mampu membangkitkan memori kerusuhan Mei 1998–kenangan yang kita ingin lupakan dan jangan sampai terulang kembali.

Sungguh sangat disayangkan, hanya untuk tujuan memenangkan Ahok, semua keberagaman dan kerukunan yang diperjuangkan banyak komponen bangsa dengan berbagai upaya keras dan sungguh-sungguh ini harus dikorbankan.  Lepas dari adanya berbagai kecemburuan sosial, sesungguhnya hubungan antar etnis dan agama di Indonesia, patut dipuji dan menjadi kekaguman dunia.

Etnis Cina juga punya sejarah panjang berkontribusi mengharumkan nama bangsa. Sebutlah dalam olahraga ada nama juara All England delapan kali, Rudy Hartono. Atau mereka yang tetap menggunakan nama asli seperti Liem Swie King yang juga juara All England tiga kali. Mereka adalah pahlawan bangsa yang diakui dan dihormati semua kalangan anak bangsa, termasuk oleh umat muslim di Indonesia.

Ada pula nama seperti  Kwik Kian Gie, Jaya Suprana, Lieus Sungkharisma yang nasionalisme dan keberpihakannya kepada kaum yang lemah ini tidak perlu diragukan. Apakah orang-orang semacam ini layak diganyang? Etnis Cina juga banyak yang menjadi tokoh muslim, beberapa di antaranya menjadi penggerak ekonomi umat dan dai yang terkenal. Sebutlah nama pengusaha Yusuf Hamka, penggerak ekonomi syariah Syafi’i Antonio, dan Ustad Felix Siauw. Mereka juga menentang Ahok ketika menistakan Al-Quran.

Yang paling baru dan sedang hit di Indonesia, adalah kiprah luar biasa dari saudara-saudara kita di komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Mereka menghadirkan dai internasional dr Zakir Naik ke  Indonesia. Apakah mereka juga harus diganyang?

Oleh: Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik dalam kumparan.com (11/4/17)

Silahkan bagikan:

Artikel terkait:

Add your comment Hide comment

Disqus Comments