Maafkan Gurumu Ini, Muridku!

Maafkan Gurumu Ini, Muridku!

Murid-muridku, baik yang pandai, malas, berbudi pekerti, maupun bandel, maafkan Bapak. Sebab, selama ini, Bapak sering meminta kalian rajin membaca supaya kalian dapat terus memperbarui pengetahuan kalian.

Namun, Bapak sendiri tak sering membaca. Buku-buku yang Bapak miliki di rumah, yang Bapak beli sewaktu masih jadi pedagang buku bekas, sudah semuanya dibaca. Bahkan, ada yang berulang-ulang dibaca. Untuk membeli buku baru, Bapak hanya mampu melakukannya sesekali. Maklum, gaji Bapak sebagai guru tak tetap tak mencukupi.

Buku-buku di perpustakaan sekolah yang berhubungan dengan mata pelajaran yang Bapak ajarkan kepada kalian pun semuanya sudah dibaca. Tak setiap bulan ada buku baru yang berkaitan dengan mata pelajaran yang Bapak ajarkan. Kalaupun ada, tak setiap saat Bapak berkesempatan membacanya. Kalian tentu tahu, bukan hanya Bapak yang dapat meminjam dan membaca buku di perpustakaan sekolah.

Dengan menyisihkan sedikit dari uang masuk setiap tahun ajaran baru, uang pendaftaran ulang setiap pergantian semester, dan uang iuran bulanan yang dibayarkan orangtua kalian, tadinya, Bapak mengira bahwa setiap bulan atau bahkan setiap pekan akan banyak buku baru di perpustakaan sekolah. Tapi, selama lebih dari lima tahun Bapak jadi guru tak tetap di sekolah ini, dari tahun ke tahun, jumlah buku di perpustakaan sekolah tak banyak bertambah.

Atau, malah berkurang lantaran makin banyak buku yang rusak dan tak lengkap, sehingga harus digudangkan. Membeli buku tetap bukan hal penting bagi banyak pihak di negeri ini, termasuk sekolah kita.

Bapak juga tak mungkin meminjam buku ke perpustakaan umum. Kalian tahu sendiri, proses belajar mengajar di sekolah berlangsung dari pagi hingga sore. Saat pulang, perpustakaan umum bersiap-siap tutup atau bahkan sudah tutup. Di negeri ini, tak lazim sebuah perpustakaan buka hingga malam.

Murid-muridku, baik yang pandai, malas, berbudi pekerti, maupun bandel, maafkan Bapak. Sebab, selama ini, Bapak sering mendorong kalian untuk terus belajar menulis. Tapi, Bapak sendiri sudah lama tak lagi menulis, sekalipun hanya menulis untuk disimpan di hardisk personal computer atau ditayangkan di Facebook.

Bapak malu kalau harus memaksakan diri menulis karena hasilnya mungkin hanya jadi sampah. Bagaimana Bapak mau menulis kalau tak ada yang Bapak baca? Kalaupun Bapak akhirnya menulis surat terbuka ini, hal itu berhasil Bapak lakukan setelah sekian lama Bapak berusaha menekan rasa malu. Selain itu, Bapak merasa, mungkin, saat inilah bisa menjadi momentum yang pas bagi Bapak untuk berkata jujur kepada kalian.

Murid-muridku, baik yang pandai, malas, berbudi pekerti, maupun bandel, maafkan Bapak bila baru kali ini berani berkata jujur pada kalian. Padahal, selama ini, Bapak sering mengatakan kepada kalian, ketika kejujuran makin sulit ditemukan di negeri ini, yang paling berharga dan dibutuhkan bangsa ini untuk menjadi bangsa terhormat ke depan hanyalah kejujuran.

Ketika di televisi, koran, atau majalah, orang-orang penting di negeri ini tak pernah berani mengakui kesalahan, walaupun mereka sudah masuk bui, Bapak tetap percaya bahwa kejujuran belum mati di negeri ini. Tapi, ketika sekolah ini membiarkan atau bahkan "mendorong" kalian untuk lulus ujian nasional dengan cara yang tak jujur, Bapak yakin bahwa kejujuran sedang dibunuh di negeri ini.

Ketika sekolah ini bersekongkol dengan penilik dan penilai untuk mendapatkan akreditasi yang paling tinggi, Bapak bertambah yakin, pembunuhan kejujuran sedang berulang-ulang dilakukan di negeri ini. Ketika sekolah ini mengaku dipayungi yayasan, tapi praktiknya seperti perusahaan yang mementingkan keuntungan, terutama keuntungan pemilik dan para pemimpinnya, Bapak haqqul yakin bahwa kejujuran sudah mati di sekolah ini. Bukan hanya untuk saat ini, tapi juga ke depan.

Sebab, baik langsung maupun tidak, kalian sedang diindoktrinasi kemunafikan. Kalian sedang disiapkan untuk memimpin masa depan dengan senjata ketidakjujuran.

Bapak sendiri menjadi bagian atau bahkan aktor ketidakjujuran tersebut. Sekurangnya, ketakutan Bapak, terutama ketakutan tak mampu menafkahi istri dan anak-anak Bapak lagi jika berani berkata jujur, menjadi biang keladi yang menempatkan Bapak sebagai bagian atau aktor ketidakjujuran itu. Ketakutan telah memenjarakan Bapak untuk diam dan terus diam, sehingga terlibat dalam berbagai praktik ketidakjujuran, baik secara langsung ataupun tidak.

Murid-muridku, baik yang pandai, malas, berbudi pekerti, maupun bandel, maafkan Bapak. Sebab, selama ini Bapak telah menjadi manusia penakut. Bapak tak punya keberanian dan militansi. Ketika sekolah atau yayasan mengiming-imingi dengan janji tambahan penghasilan dari kegiatan ekstrakurikuler, Bapak tak berkutik dan membiarkan sekolah atau yayasan tetap menjadi pihak yang dominan. Padahal, Bapak selama ini selalu memprovokatori kalian untuk melawan setiap ketidakbenaran dan penindasan.

Proses belajar-mengajar yang Bapak hadirkan di dalam atau di luar kelas juga tak sepenuhnya Bapak lakukan untuk melayani dan memfasilitasi kalian mencari dan menemukan pengetahuan. Bapak menempuhnya lebih supaya dinilai memiliki kinerja bagus oleh kepala sekolah. Kepala sekolah melakukannya supaya pemilik yayasan tetap memercayainya sebagai kepala sekolah.

Pemilik yayasan melakukannya supaya para orangtua kalian tetap sudi menyekolahkan kalian di sini, sehingga sekolah ini tetap untung dan mampu melanjutkan aktivitasnya sebagai lembaga pendidikan. Sedangkan, orangtua kalian sendiri memposisikan kalian sebagai agen pembisik yang penting apakah sekolah ini akan tetap berdiri atau gulung tikar. Sekurangnya, kalian akan sangat menentukan seorang guru bisa terus mendidik kalian atau harus disingkirkan.

Murid-muridku, baik yang pandai, malas, berbudi pekerti, maupun bandel, maafkan Bapak bila kelak kalian tak lagi melihat Bapak berdiri di depan kelas. Itu terjadi bukan lantaran Bapak lelah berjuang sendiri. Bukan! Bapak sesungguhnya tak berjuang, tapi hanya membela diri sendiri.

Kalau Bapak mesti tak lagi berada di dekat kalian, itu dilakukan lantaran Bapak sudah tak berdaya. Diam-diam, itu juga cara Bapak menghindar dari pemecatan kalian. Lebih bermartabat mundur ketimbang dipecat sekolah atau yayasan lantaran kalian menilai Bapak tak becus menjadi guru profesional. Lebih baik Bapak kembali menjadi pedagang buku bekas. Dengan begitu, Bapak sekurangnya kembali selevel dengan pemilik yayasan dan orangtua kalian sebagai sesama pedagang.

Sekali lagi, mohon maaf bila Bapak terpaksa melakukan semua ini. Mohon maaf pula bila selama ini ada salah ucap dan sikap Bapak terhadap kalian. Hanya sebatas inilah keberanian Bapak kalau memang itu layak dinilai sebagai keberanian. Atau, malah ini wujud lain kepengecutan Bapak?

Oleh: Iwan Gunadi dalam detik.com (2/5/17)

Penulis pernah lulus dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta—sekarang Universitas Negeri Jakarta (UNJ), pernah jadi guru, dan pernah jadi editor. Sekarang jadi pedagang buku bekas.

Silahkan bagikan:

Artikel terkait:

Add your comment Hide comment

Disqus Comments