Sejarah Tafsir Al-Qur'an

Sejarah Tafsir Al-Qur'an

NOTE SANTRI - Seperti ilmu-ilmu lainnya, ilmu Tafsir memiliki sejarah tersendiri dalam khazanah keislaman. Perkembangan ilmu ini sangatlah pesat, terlebih pada masa awal kemunculannya. Maka menarik tulisan dari M. Rofiq dalam hasrof.com untuk kita telaah. Semoga makalah ini bermanfaat untuk sahabat NOTE SANTRI.

Periode Formasi: Masa Nabi, Sahabat, Tabi’in dan Kodifikasi

A.    PENDAHULUAN


Al-Qur'an seperti diyakini umat Islam merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang bathil. Dalam berbagai versinya al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumat (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nur petunjuk Ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia dunia dan akhirat. Dari prinsip yang diyakini inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian sekaligus kemanusiaan itulah penafsiran al-Qur’an dihasilkan.

Hal ini bisa dilihat terutama dari kecenderungan (ittijâhât) upaya penafsiran dan penakwilan kitab suci yang terseret ke dalam diskusi panjang apakah manusia secara umum sebagai pembaca sedangkan penafsir teks merupakan makhluk historis atau filosofis, makhluk yang setiap saat berubah (sesuai dengan pengayaan pengalaman hidup masing-masing) atau yang konstan.

Manusia dalam kacamata Islam tidaklah hidup dari, oleh dan untuk dirinya sendiri dan terkungkung dalam dunia yang profan ini. Falsafah hidup Islam tidak mengenal mazhab sekularisme yang memisahkan manusia dari dimensi keIlahian dan melucuti aspek moral dan nilai dari kegiatan manusia. Falsafah hidup Islam menggariskan bersatunya nilai agama dan dunia, kehidupan manusia untuk misi khilafah/imarat al-ardl (keduniaan) dan ubudiyyah (keakhiratan). Prinsip-prinsip tersebut yang senantiasa harus diindahkan ketika kaum muslim berinteraksi dengan al-Qur'an.

Arti tafsir menurut Ibnu Mandzur dalam kamus besar Lisan al-‘Arab, beliau berkata: kata al-fasru berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsir menyingkap suatu lafadz yang susah dan pelik.[1] Secara terminologis, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang apa yang dimaksud oleh Allah dalam al-Qur’an sepanjang kemampuan manusia.[2]

Maka dari diktum itu pulalah, konsep tentang manusia dan identitasnya dalam menjabarkan misi kekhalifahan dan ubudiyyah di muka bumi menjadi penentu yang determinan dalam proses mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Akan tetapi, posisi sentral manusia yang oleh peradaban Barat menjadi tema utama abad pencerahan juga bukan tanpa cela dalam sudut pandang Islam.

Dalam perkembangan tafsir al-Qur’an dari waktu ke waktu hingga masa sekarang dikenal berbagai corak penafsiran al-Qur’an sesuai dengan keahlian dan perkembangan zaman yang melingkupinya. Hal ini ditopang oleh keadaan al-Qur’an sendiri, seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain.[3]

Sejarah perkembangan penafsiran menurut Muhammad Quraisy Shihab menyebutkan ada enam corak tafsir yang dikenal luas dewasa ini, yakni corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra budaya kemasyarakatan.[4] Begitu juga dalam metode tafsir, ada tafsir bi al ma’tsur/manqul (penafsiran al-Qur’an berdasarkan dengan penjelasan yang diriwayatkan, ya’ni dengan al-Qur’an itu sendiri, hadits, atau dengan pendapat para Sahabat), dan tafsir bi al ma’qul (ijtihad dan ra'yu yang dibolehkan).

B.     SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR AL-QUR'AN


Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab menurut uslub-uslubnya. Seluruh lafadz al-Qur'an adalah bahasa Arab asli, terkecuali beberapa kata yang berasal dari bahasa (serapan) lain yang telah menjadi bahasa Arab, serta dipakai pun menurut uslub bahasa Arab sendiri.

Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an, Muhammad Husain al-Dzahabi membagi sejarah tafsir ke dalam tiga fase/periode (marhalah), yaitu: Pertama adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat, kedua yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in, dan ketiga yaitu fase perkembangan tafsir pada masa penyusunan dan pembukuan (kodifikasi), yang dimulai dari zaman Abbasiyah sampai zaman kontemporer (masa hidup al-Dzahabi).[5]

1.      Masa Rasulullah saw. dan Sahabat

a.       Masa Rasulullah saw.
Penafsir pertama adalah Rasulullah Saw. Nabi Muhammad senantiasa menerangkan ayat-ayat yang bersifat global, menjelaskan arti yang samar-samar, dan menafsirkan segala masalah yang dirasa sangat sulit dipahami, sehingga tidak ada lagi kerancuan dan keraguan di benak sahabat.[6] Sikap Nabi tersebut adalah sesuai dengan firman Allah ”Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S. al-Nahl (16): 44). Dengan tindakan dan kedudukan ini, maka Nabi adalah mufassir pertama dan utama.

Rasulullah saw. setiap menerima ayat al-Qur'an langsung menyampaikan  kepada para Sahabat serta menafsirkannya mana yang perlu ditafsirkan. Penafsiran Rasulullah saw. itu ada kalanya dengan sunnah qauliyah, ada kalanya dengan sunnah fi'iliyah dan ada kalanya dengan sunnah taqririyyah. Dengan demikian ketika Rasulullah saw. masih hidup, telah menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an sekalipun seluruh penafsiran itu tidak sampai kepada kita, artinya beliau bertindak langsung sebagai mufassir. Jika ada ayat atau kata dari al-Qur’an yang tidak dimengerti oleh para Sahabat, maka Nabi menjelaskan secara langsung maksud dari ayat atau kata tersebut kepada mereka. Hal ini memang sesuai dengan fungsi Nabi sebagai penjelas dari al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Ibrahim: 14)

Ibnu Abbas ra menyatakan bahwa dalam al-Qur`an terdapat ayat yang bisa difahami dengan mengetahui bahasa arab dengan cepat difahami, sekalipun oleh orang yang bodoh, dan ada ayat yang hanya diketahui Allah saja dan ada juga ayat yang tidak ada faidah yang banyak jika mengetahuinya selain mengetahui maknanya.[7]

b.      Masa Sahabat
Rasulullah berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap maksud ayat-ayat al-Qur’an. Sepeninggal beliau (11 H.), kepeloporannya di bidang tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang ahli di bidang tafsir misalnya: Khulafâ’ al-Râsyidîn; Abu Bakar (w. 13 H.), ‘Umar bin Khattâb (w. 23 H.), Utsmân bin ‘Affân (w. 35 H.), dan ‘Ali bin Abî Tâlib (w. 40 H.), Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.), ‘Abdullah dan Zubair, Ubay bin Ka’b (w. 20 H.), Zaid bin Tsâbit, dan Abû Mûsâ al-Asy’ârî (w. 44 H.). Di samping sepuluh sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 H.), Anas bin Mâlik, ‘Abdullah bin ‘Umar (w.73 H.), Jâbir bin Abdullah, A‘isyah (w.57 H.), dan Amr bin As. Mereka dipandang sebagai generasi pertama mufasir.[8]
Para Sahabat harus melakukan ijtihad sendiri ketika menemui masalah dalam al-Qur’an yang belum pernah dijelaskan oleh Nabi saw. namun demikian mereka tidak berijtihad secara lepas bebas. Sebab menafsirkan al-Qur'an dengan berpegang pada kaedah- kaedah bahasa dan kekuatan ijtihad pada masa sahabat masih belum umum dilakukan. Para shabat pada umumnya tidak menulis tafsir (hadits-hadits tafsir) sebagaimana mereka tidak menulis dan tidak mendewankan hadits. Karena mereka takut tercampur baur antara al- Qur'an dengan tafsir tersebut. Secara umum para sahabat menafsirkan al-Qur'an menurut penerangan riwayat semata, yakni menurut hadits yang mereka terima.

Tafsir Pada Masa Sahabat Memiliki Beberapa Kelebihan diantaranya:
  • Sedikit mengambil berita Israiliyat.[9]
  • Tafsiran mereka belum menyeluruh pada semua ayat al-Quran
  • Mereka tidak terlalu membebani dalam menafsirkan ayat sehingga sampai terjerumus pada lubang dosa.
  • mereka mencukupkan diri untuk mengetahui makna global dan tidak mencari makna rinci jika tidak ada manfaat dari rincian tersebut.
  • Sedikit kodifikasi Tafsir, kebanyakan mereka menjaga tafsir melalui riwayat saja, kalaupun ada itu hanya segelintir saja, seperti Abdullah bin Amru bin Ash ra.
Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, para sahabat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menempuh beberapa langkah yaitu:
  • Al-Qur’an al-Karim, yaitu meneliti kandungan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat mungkin saja sudah dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Atau jika ditemukan ayat dalam bentuk mutlak atau umum boleh jadi disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya.
  • Merujuk kepada penafsiran/penjelasan Nabi saw., sebab ketika beliau masih hidup mungkin sudah menjelaskan maksud ayat yang musykil bagi Sahabat.
  • Menggunakan ra’yu/pemahaman atau melakukan ijtihad berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Apabila para Sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al-Qur’an dan tidak pula dari Nabi saw. mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan seganap kemampuan nalar. Ini sangat memungkinkan hasil penafsiran mereka valid, mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahami aspek kebalaghahan-nya serta mengetahui secara langsung asbabun nuzul dari ayat atau surah.
  • Menanyakan kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab dari kaum Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam tentang masalah tertentu. Mereka ini dijadikan tempat bertanya oleh beberapa Sahabat ketika menemukan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an. Hal ini dilakukan jika dalam keadaan darurat, yani belum ada penjelasannya ketika Nabi saw. masih hidup. Mereka melakukan ini dengan asumsi bahwa dalam beberapa masalah tersebut al-Qur’an sesuai dengan kitab suci mereka (Taurat dan Injil) seperti kisah kelahiran nabi Isa as. dan beberapa mukjizatnya. Namun demikian Sahabat sangat membatasi secara sempit penggunaan cara ini karena mereka sadar bahwa kedua kitab suci itu sudah banyak yang diselewengkan dan diubah. Kalaulah mereka mengambil darinya, tentulah dipilih yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan aqidah. Sikap Sahabat pun tidak langsung membenarkan atau menyalahkan terhadap tafsir metode ini. Sebab para Sahabat berpegang teguh pada sabda Nabi saw.: “ Janganlah kalian membenarkan atau mendustakan ahlul kitab, tetapi katakanlah, ‘kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah diturunkan kepada kami..........”   
  • Bertumpu pada syair-syair. Sebab al-Qur’an diturunkan menggunakan kaidah sastra Arab yang sempurna sehingga dengan cara ini para Sahabat dapat memahami makna yang terkandung didalamnya.[10]

Hukum Tafsir Sahabat:
  • Jika bukan berdasar pada pendapat seperti hal yang ghaib atau tentang sebab turunnya ayat, dihukumi marfu’ (sampai pada Nabi saw).
  • Jika berasal dari pendapat mereka, hukumnya mauquf dan mauqufnya sahabat wajib diambil.
Imam Syafi’i termasuk ulama yang menjadikan perkataan sahabat sebagai hujjah, dan jika para sahabat terjadi silang pendapat, maka ia merujuk pada tafsir Khulafa’ al-Rasyidin, berikut penjelasannya;
  • Jika perkataan mereka sesuai dengan al-Qur`an dan sunnah, maka perkataan mereka diterima.
  • Jika perkataan mereka tidak berdasar pada al-Qur`an dan sunnah,maka diambil perkataan yang banyak.
  • Jika perkataan mereka sama, maka dilihat mana yang paling baik takhrijnya.[11]

2.      Masa Tabi’in


Dalam memahami al-Qur’an para tabi’in berpegang pada apa yang ada dalam al-Qur’an itu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para Sahabat yang berasal dari Nabi saw., penafsiran yang mereka terima dari para Sahabat berupa penafsiran mereka sendiri, keterangan yang mereka terima dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka, dan ijtihad serta pertimbangan mereka terhadap kitab Allah sebagaimana yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka.

Fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in. Mereka adalah murid-murid para sahabat yang tersebar di Makkah, Madinah dan Irak. Di Makkah yang merupakan murid dari ‘Abdullah bin ‘Abbas yaitu Sa‘id bin Jubair (w. 94 H.), Mujahid (w. 100 H.), Ikrimah (w. 105 H.), Tawus bin Kaisan al-Yamani (w. 105 H.), dan ‘Ata’ bin Abi Rabah (w. 114). Sedangkan murid-murid sahabat yang terdapat di Madinah yang berguru kepada Ubaî bin Ka‘b yaitu Zaid bin Aslam (w. 182 H.), Abu al-Aliyah (w. 90 H.), dan Muhammad bin Ka’b al-Qurdi. Dan murid-murid sahabat di Irak yang berguru kepada Abdullah bin Mas‘ud yaitu ‘Alqamah bin Qais, Masrûq, Marah al-Hamdani, ‘Amir al-Syu‘bi, dan al-Hasan al-Basri.[12]

Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari salah satu di antara ketiga sumber yang dikemukakan di atas, Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in yang dikenal dengan tafsir bi al-Ma’tsur. Ali al-Sabuni dan al-Zarqani mendefinisikan tafsir bi al-Ma’tsur adalah sesuatu yang datang di dalam al-Qur’an, sunnah, ataupun perkataan sahabat, yang menjadi penerang bagi murad (maksud) Allah terhadap kitab-Nya. Corak tafsir ini merupakan periode pertama dari perkembangan tafsir dan berakhir dengan berakhirnya masa tabi’in sekitar tahun 150 H.[13]

Pada dasarnya dimasa Nabi saw. dan Sahabat sudah menafsirkan ayat al-Qur’an, namun kesulitan semakin meningkat secara bertahab sebagaimana perkembangan zaman. Maka tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu menyempurnakan sebagian kekurangan ini. sehingga mereka pun menambahkan kedalam tafsir keterangan-keterangan yang melengkapi kekurangan tersebut.

Semangat berlebihan para tabi’in dalam menambahkan keterangan kedalam tafsir menimbulkan kontroversi khususnya dalam hal kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an sehingga masa ini mulai terdapat kelemahan dalam tafsir. Hal ini dikarenakan diantara mereka kurang berpegang kepada manhaj para sahabat dalam menyaring berita yang datang dari Ahli kitab dan tidak menelitinya dengan penelitian yang mendalam. Ada beberapa tabiin yang memasukan isroiliyyat yang asing, dan cerita-cerita yang ajaib. Dalam Tafsir At-Thobari banyak terdapat isroiliyyat, diantaranya yang nisbahkan kepada Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair dan lain-lain. Dan cerita-cerita Isroiliyyat bertambah lebih banyak lagi pada masa setelah tabi'in, sehingga pada masa tabi’in inilah masalah dalam penafsiran bermula.

Sumber-Sumber Tafsir Pada Masa Tabi’in
  • Tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an.
  • Tafsir al-Qur`an dengan perkataan, perbuatan, taqrir dan jawaban Nabi saw.
  • Tafsir al-Quran dengan perkataan Sahabat, karena para Tabi’in banyak merujuk tafsiran mereka pada Sahabat.
  • Ijtihad.
  • Perkataan Ahlul Kitab. Dengan masuknya Ahlul Kitab ke Islam serta ada beberapa kisah dalam al-Qur`an yang tidak disebutkan dengan rinci dan kemungkinan diperinci pada kitab sebelumnya, membuat Tabi’in bertanya kepada mereka, berita dari Ahlul Kitab seperti ini dikenal dengan istilah Israiliyat.
Tafsir Pada Masa Tabi’in Memiliki Beberapa Kelebihan
  • Mulai masuknya Israiliyat.
  • Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam dan masuknya orang ‘Ajm (non-Arab) sehingga membutuhkan tafsir yang sesuai dengan kebutuhan manusia.
  • Tafsir masih terjaga melalui riwayat, sekalipun riwayatnya hanya tercakup pada suatu daerah, seperti orang Makkah mengambil riwayat dari Ibnu Abbas, orang Madinah, mengambil riwayat dari Ubay dan orang Iraq, mengambil riwayat dari Ibnu Mas’ud.
  • Munculnya perselisihna tafsir yang lebih besar daripada masa Sahabat serta ijtihad yang masuk dalam Tafsir.
  • Muncul perselisihan mazhab.
Tafsir ketika masa itu terdapat sanad sampai kepada orang yang mengatakannya, sehingga bisa dikenal dan dinilai.

Hukum Tafsir Tabi’in
  • Tidak wajib mengambilnya, dengan alasan mereka belum pernah bertemu dengan Nabi saw dan mereka tidak mengetahui kejadian ketika suatu ayat diturunkan. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Uqail dan Syu’bah.
  • Pendapat mereka diambil, karena Tabi’in telah bertalaqi dan bermajlis kepada para Sahabat.
  • Pendapat Ibnu Taimiyah, dan pendapat beliau yang rajih, jika mereka telah bersepakat pada tafsir suatu ayat, maka wajib diambil, namun jika mereka berselisih pendapat, maka tidak wajib diambil dan harus melihat pada al-Quran, Hadits dan Tafsir Sahabat.[14]
Sampai dengan masa tabi’in ini walaupun tafsir yang sudah begitu kaya belum juga dibukukan, dan hanya sebatas dalam bentuk riwayat-riwayat lisan.

3.      Tafsir Masa Kodifikasi


Maksud dari kodifikasi di sini adalah kodifikasi Hadits Nabi saw dalam bentuk bab-bab dan masuknya Tafsir dalam bab-bab tersebut, fase ini bermula ketika masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, Tafsir masih tercampur dan masuk  pada bab-bab dalam kitab hadits dan belum menjadi kitab yang mandiri, di antara ulama yang mengumpulkan Tafsir dengan metode di atas adalah Yazid bin Harun (117 H), Syu’bah bin Hajaj (160 H), Waki’ bin Jarrah (197 H) dan Abdurrazaq bin Hammam (211 H).[15]

Adalah fase perkembangan tafsir pada masa penyusunan dan pembukuan (kodifikasi). Fase ini merupakan fase perkembangan tafsir pasca sahabat dan tabi’in, yang ketika itu juga telah mulai pentadwinan (kodifikasi) hadis Rasulullah saw. Mufassir-mufassir yang berkembang ketika itu adalah Yazid bin Harun al-Sulami (w.117 H.), Syu‘bah al-Hajjaj (w. 160 H.), Waki‘ bin Jarah (w. 197 H.), Sufyan bin ‘Uyaynah (w. 198 H.), Ruh bin ‘Ibadah al-Basri (w. 205 H.), ‘Abdurrazzaq ibn Himam (w. 211 H.), Adam bin Abi Iyas (w. 220 H.), ‘Abd bin Hamid (W. 249 H.), dan lain-lain.[16]

Masa ini dimulai pada akhir dinasti Umaiyah dan awal dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang. Fenomena yang menonjol masa ini ialah hadits-hadits berkembang sedemikian pesatnya, daan bermunculan hadits-hadits palsu (maudlu’) dan lemah (dlo’if) di tangah-tengah masyarakat. Hampir bersamaan dengan itu dilakukan pula usaha pembukuan hadits yang dipelopori oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz.[17] Ketika itu, tafsir ditulis bergabung dengan penulisan hadits-hadits dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadits. Ini dapat dipahami karena penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah tafsir bi al-ma’tsur.

Generasi selanjutnya adalah mufassir yang muncul sesudah berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam Islam, sesuai dengan spesialisasi dan ilmu yang dikuasainya. Di antara mereka adalah al-Zamakhsyari (w. 528 H.), al-Wahidi (w. 468 H.), al-Tsa‘labi (w. 427 H.), al-Qurtubi (w. 671 H.), al-Razi (w. 610 H.), dan al-Khazin (w. 741 H.). di tangan merekalah muncul beberapa metode dan corak tafsir. Maraknya hal ini sangat dipengaruhi latar belakang dan kecenderungan keilmuan mereka dalam penulisan tafsir.[18]

Sejalan dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat yang ditandai dengan antara lain masuknya orang-orang non-Arab dan beragama lain kedalam Islam, perkembangan penerjemahan buku-buku filsafat, perkembangan ilmu pengetahuan dan lain-lain, maka bertambah dan berkembang pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.

Selama masa ini muncul corak-corak penafsiran, sebagaimana Muhammad Husein al-Dzahabi dalam pendahuluan al-Tafsir wa al-Mufassirun menyebutkan bahwa ada empat corak tafsir yang berkembang, secara ringkas diklasifikasikan menjadi: pertama, ”tafsir corak ilmi (al-laun al-‘ilmi)” yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah; kedua, ”tafsir corak madzhab (al-laun al-‘madzhabi)”, yaitu tafsir berdasarkan madzhab teologi atau fikih yang dianut oleh para mufassir; ketiga, adalah ”tafsir bercorak ilhadi (al-laun al-‘ilhadi)”, yaitu tafsir yang mengunakan pendekatan menyimpang dari kelaziman; dan keempat, ”tafsir corak sastra-sosial (al-laun al-adabi al-ijtima‘i)”, yaitu tafsir yang menggunakan pendekatan sastra dan berpijak pada realitas sosial.[19]

Lebih jelas lagi Quraisy Shihab menyebutkan bahwa selama masa ini pula dikenal corak-corak penafsiran sebagai berikut:[20]
  • Corak sastra bahasa
  • Corak filsafat dan teologi
  • Corak penafsiran ilmiah
  • Corak fiqih atau hukum
  • Corak tasawuf
  • Corak sastra budaya kemasyarakatan, yaitu corak tafsir yang berusaha menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Tafsir dengan corak ini pertama kali diintrodusir oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905).
  • Corak maudlu’i, corak ini muncul akibat kekecewaan terhadap metode penafsiran ayat demi ayat menurut urutan mushaf al-Qur’an (metode tahlily) yang dipandang tidak bisa memberikan petunjuk utuh al-Qur’an terhadap masalah atau konsep karena al-Qur’an sering mengungkapkannya secara terpisah. Corak tafsir ini pertama kali dipelopori oleh Syekh Mahmud Syaltut tahun 1960.

C.    PENUTUP


Sejarah penafsiran al-Qur’an pada dasarnya sudah ada sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang. Adapun dimasa Nabi saw. sampai masa Sahabat tidak didapatkan masalah-masalah mengenai tafsir al-Qur’an, dikarenakan Rasulullah sendiri yang bertindak sebagai mufassir. Jadi ketika ada ayat yang tidak bisa dipahami langsung dijelaskan oleh Nabi saw. Begitu  pula dimasa Sahabat juga belum banyak muncul masalah-masalah yang berarti, sehingga bisa diselesaikan para Sahabat dengan petunjuk atau tafsir yang pernah dijelaskan Rasulullah saw. Pada masa tabi’in-lah masalah-masalah dalam penafsiran itu muncul hingga saat ini.

Ada beberapa hal munculnya perbedaan corak-corak penafsiran al-Qur’an diantaranya: akibat banyak orang non Arab yang memeluk Islam dan kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibidang sastra; timbul akibat penerjemahan kitab-kitab filsafat dan masuknya penganut-penganut agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka; akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu; akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya madzhab-madzhab fiqih yang setiap golongan ingin membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum; dan akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi.   


Footnote: 
[1]  Ibnu Mandzur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Sadir, tth.), hlm. 55.

[2] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), jilid II, hlm. 15.

[3] Dikutip Quraisy Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 72, dari Abdullah Darraz, Al-Naba’ al-‘Adhim, (Mesir: Darul Urubah, 1960), hlm. 111.

[4] Ibid., hlm. 72-73.

[5]  Muhammad Husain al-Dzahabi, .................., hlm. 13-14.

[6] Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 2.

[7] Fahd bin Abdurrahman al-Rumi, Buhuts  fi Ushul  at-Tafsir, (Riyadh: Maktabah at-Taubah, 1413 H), cet ke-1, hlm. 17.

[8] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir.........., hlm. 49.

[9] Fahd bin Abdurrahman al-Rumi, Buhuts .............., hlm. 18.

[10] Ibid.

[11] Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam as-Syafi’i, (Riyadh: Dar Ibnu Hazm, 2006 M), Jilid I, hlm. 81.

[12] Ibid. hlm. 35-107.

[13] Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir..........., hlm. 13.

[14] Fahd bin Abdurrahman al-Rumi, Buhuts .............., hlm. 34.

[15] Ibid., hlm. 35.

[16] Muhammad Husain al-Dzahabi, ..........., juz. 1, hlm. 127-128.

[17] Quraisy Shihab, ......................, hlm. 72.

[18] Muhammad Husain al-Dzahabi, ...................., hlm. 32-183.

[19] Ibid., hlm. 15.

[20] Quraisy Shihab, .............., hlm. 72-73.

Silahkan bagikan:

Artikel terkait:

Add your comment Hide comment

Disqus Comments